Warisan SBY [III]

★ Optimisme Baru Ketahanan Energi Pengumuman bertuliskan ‘Premium Habis’ dipasang di SPBU di Jakarta

 Subsidi BBM capai ratusan triliun. Kuota pun dikhawatirkan jebol. 

Ruangan itu berukuran 10×15 meter persegi. Terletak di lantai 3 sebuah gedung BUMN di sektor energi. Tak ada yang istimewa.

Layaknya sebuah ruang pertemuan, perabotan standar tertata rapi. Puluhan meja bundar tersusun dalam beberapa kelompok.

Namun, pada Selasa 14 Oktober 2014, ruangan itu penuh sesak. Sebagian besar orang yang memenuhi ruangan berbusana rapi.

Hari itu, rencana besar digulirkan. Bertajuk “Skenario Bandung”, puluhan pakar dan pelaku di sektor energi berkumpul, arahnya satu, memperkuat ketahanan energi nasional melalui optimisme baru.

Poin penting dari “Skenario Bandung” itu adalah adanya prakarsa yang menumbuhkan optimisme baru, penguatan, dan pemberdayaan sektor energi nasional.

“Memahami skenario-skenario untuk mengetahui berbagai tantangan yang bisa jadi muncul kelak sangat penting, khususnya bagi perencanaan pembangunan,” kata Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UK4), Kuntoro Mangkusubroto, Selasa 14 Oktober 2014.

Kuntoro mengatakan, skenario-skenario yang dirumuskan bisa digunakan untuk menghasilkan perencanaan yang tepat guna memperkuat ketahanan energi nasional. Sebab, kepastian keamanan dan ketersediaan energi bagi masa depan adalah isu krusial bagi pemerintah sekaligus pembangunan ekonomi.

Sebaliknya, kata dia, ketidakmampuan dalam beradaptasi terhadap perubahan energi yang mungkin timbul, bisa berakibat fatal bagi masa depan energi Indonesia. Ujung-ujungnya, pertumbuhan industri strategis tak berjalan. Harganya pun bisa berubah.

Ya, isu energi telah menjadi sangat penting. Selama puluhan tahun, permasalahan energi selalu menjadi tema sentral. Maklum, produk yang dihasilkan langsung menyentuh kehidupan sehari-hari masyarakat. Dari kebutuhan listrik, gas, hingga bahan bakar minyak (BBM).

Senin, 20 Oktober 2014, Indonesia mempunyai pemimpin baru. Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, resmi dilantik di hadapan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Era baru pemerintahan pun dimulai, banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Tak terkecuali di sektor energi.

Selama satu dasawarsa terakhir, di masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sektor energi mengalami pasang surut. Banyak prestasi dicapai, meski tak sedikit perlu pembenahan.

Dewan Energi Nasional bahkan mengingatkan, ketahanan energi di dalam negeri cukup mengkhawatirkan. Pasokan energi hanya cukup untuk 20 hari. Itu pun dikategorikan cadangan operasional, bukan cadangan penampungan.

Terlepas dari kondisi itu, selama dua periode kepemimpinan SBY, banyak warisan energi yang ditinggalkan.

 Pengendalian BBM Bersubsidi 

Dua bulan jelang berakhirnya masa Pemerintahan SBY, kebijakan pengendalian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi digulirkan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat itu, Jero Wacik, mengeluarkan kebijakan untuk menjaga kuota BBM bersubsidi selama 2014 tidak melebihi kuota yang sudah ditetapkan Pemerintah bersama DPR.

Kebijakan itu beralasan, mengingat hingga semester pertama 2014, realisasi penyaluran BBM bersubsidi sudah mencapai 22,91 juta kilo liter (KL). Jumlah ini lebih tinggi dari kuota yang direncanakan sebanyak 22,81 juta KL. Sementara itu, pada periode sama 2013 mencapai 22,74 juta KL.

Kenaikan volume BBM bersubsidi ini antara lain disebabkan oleh pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) dan Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), dalam 3 tahun terakhir, rata-rata angka penjualan mobil mencapai 1,1 juta unit per tahun, sedangkan motor 7,6 unit per tahun. Sementara itu, untuk 2014, target penjualan mobil adalah 1,25 juta unit dan motor 8 juta unit.

Meskipun telah dilakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi pada Juni 2013, tingginya disparitas harga BBM bersubsidi dengan BBM non subsidi telah mengakibatkan migrasi pengguna BBM non subsidi ke BBM subsidi. Kondisi itu diperparah dengan masih terdapat penyalahgunaan BBM bersubsidi, khususnya jenis solar.

Menyikapi kondisi itu, pemerintah kemudian bertindak cepat. Kebijakan pengendalian tertentu diterapkan, dengan mengimplementasikan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pengendalian Penggunaan BBM yang antara lain melarang penggunaan BBM bersubsidi untuk kendaraan dinas, pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan transportasi laut non pelayanan rakyat serta non perintis.

Perkiraan penghematan dari implementasi Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2013 ini adalah 0,46 juta KL. Perinciannya, bensin 0,15 juta KL, sedangkan solar 0,31 juta KL.

BPH Migas pun melakukan pengawasan dengan target penghematan penggunaan BBM bersubsidi jenis minyak solar sebanyak 0,50 juta KL.

Selanjutnya, program konversi BBM ke bahan bakar gas juga diperkirakan memberikan penghematan terhadap penggunaan premium sebesar 0,09 juta KL. Saat ini, terdapat 27 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) dan 2 mobile refueling unit (MRU) di Jabodetabek, Jawa Timur, dan Palembang.

Selain itu, pengurangan Nozzle BBM public service obligation (PSO) yang dilaksanakan di 59 kota/kabupaten siap BBM PSO diharapkan dapat memberikan penghematan 0,95 juta KL dengan rincian bensin 0,67 juta KL dan solar 0,28 juta KL.

 Harga BBM Bersubsidi 

Presiden SBY bukannya tidak berupaya untuk menekan subsidi BBM. Pada 2005, ketatnya ruang fiskal yang diwariskan Megawati membuat SBY harus menaikkan premium dari Rp 2.400 per liter menjadi Rp 4.500 per liter.

Kemudian, ketika mini krisis di Indonesia pada 2008, pada Mei, premium kembali dinaikkan menjadi Rp 6.000 per liter.

Namun, harga premium sebesar Rp 6.000 tersebut hanya bertahan beberapa bulan. Pada November 2008, SBY menurunkan harga premium menjadi Rp 5.500 per liter. Selanjutnya, pada Desember tahun yang sama, premium diturunkan kembali menjadi Rp 5.000 per liter.

Tidak berhenti di situ, pada awal 2009, yang diketahui menjelang masa jabatan SBY berakhir dan masuk masa kampanye pemilihan presiden baru periode 2009-2014, SBY kembali menurunkan harga BBM menjadi Rp 4.500 per liter.

Harga tersebut bertengger hingga 2013, dengan perjuangan yang keras meminta izin ke DPR, harga premium dinaikkan kembali menjadi Rp 6.500 per liter.

Subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang semakin besar, mengakibatkan kemampuan pemerintah untuk membiayai berbagai program percepatan dan perluasan program perlindungan sosial terkendala. Khususnya yang berorientasi pada perbaikan kesejahteraan masyarakat serta peningkatan infrastruktur.

Sementara itu, subsidi BBM pada kenyataannya justru dinikmati oleh sebagian besar masyarakat menengah atas. Untuk itu, pemerintah telah berusaha agar tekanan yang berasal dari kenaikan konsumsi BBM bersubsidi dapat dikelola dan diminimalkan dampaknya bagi masyarakat.

Langkah-Iangkah seperti penghematan dan pengendalian belanja pemerintah, optimalisasi penerimaan negara serta pengendalian BBM bersubsidi dan konversi BBM bersubsidi ke gas telah dan akan terus dilakukan.

Meski demikian, langkah-Iangkah tersebut belum mencukupi untuk membiayai kenaikan konsumsi BBM bersubsidi yang merupakan dampak dari pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah terpaksa melakukan opsi kebijakan penyesuaian harga BBM bersubsidi.

Harga BBM bersubsidi di Indonesia saat ini sebenarnya sudah termasuk salah satu yang terendah di negara tetangga, sehingga berpotensi adanya penyelundupan.

 Penghapusan Subsidi Listrik 

Pada sektor kelistrikan, guna mempertahankan kelangsungan pengusahaan penyediaan tenaga listrik, Pemerintahan SBY menghapus subsidi listrik melalui penyesuaian tarif tenaga listrik untuk golongan pelanggan tertentu.

Upaya itu dilakukan untuk peningkatan mutu pelayanan kepada konsumen, peningkatan rasio elektrifikasi, serta mendorong subsidi listrik yang lebih tepat sasaran. Sesuai Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009, pemerintah sesuai dengan kewenangannya menetapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Penghapusan subsidi listrik melalui penyesuaian tarif tenaga listrik itu dilakukan secara bertahap untuk golongan pelanggan tertentu, yaitu golongan pelanggan industri menengah (I-3) yang non go public, golongan pelanggan rumah tangga (R-1 1.300 VA, R-1 2.200 VA, dan R-2 3.500 VA s.d 5.500 VA), golongan pelanggan pemerintah (P-2 di atas 200 kVA), dan penerangan jalan umum (P-3) setiap dua bulan yang diberlakukan mulai 1 Juli 2014.

Saat ini, tantangan yang dihadapi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) adalah bagaimana cara untuk mempercepat rasio elektrifikasi, dengan tiap tahun terdapat minimal 3 juta sambungan baru. Pada 2013, konsumsi listrik telah mencapai 876 kWh/kapita dan akan terus meningkat hingga 1.300 kWh/kapita pada 2020.

Kondisi itu perlu segera diantisipasi, sehingga dibutuhkan kesiapan penyediaan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan konsumsi listrik sebesar 7-8 persen, dan permintaan tenaga listrik sekitar 9 persen per tahun atau penambahan daya sekitar 5.000 MW.

Hingga Desember 2013, rasio elektrifikasi di Indonesia mencapai 80,51 persen dan meningkat 13 persen dalam tiga tahun terakhir.

Sebuah pekerjaan besar bagi BUMN di sektor kelistrikan itu. Dengan belanja modal Rp 50 triliun per tahun, PLN dan semua stakeholder harus bekerja keras untuk membangun infrastruktur ketenagalistrikan.

Beberapa di antaranya adalah pembangunan proyek transmisi listrik 500 kilovolt (kV) Sumatera dan transmisi interkoneksi listrik Sumatera-Jawa.

Kedua proyek yang dicanangkan pembangunannya oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Chairul Tanjung itu dinilai strategis untuk memperkuat pasokan listrik ke Sumatera dan menghubungkan listrik antara Sumatera dan Jawa.

“Proyek transmisi 500 kV trans Sumatera ini seperti interkoneksi Jawa-Bali,” ujar Chairul.

Proyek transmisi 500 kV Sumatera itu membentang sepanjang sisi timur Pulau Sumatera. Jaringan transmisi tegangan ekstra tinggi ini akan berfungsi sebagai “jalan tol listrik” Sumatera yang menyalurkan tenaga listrik dari pusat-pusat pembangkit ke pusat-pusat beban di Pulau Sumatera.

Total beban puncak di Sumatera saat ini sekitar 4.483 MW dan beban listrik di Sumatera tumbuh rata-rata 10 persen per tahun. Pembangunan jaringan transmisi ini akan memperkuatan sistem kelistrikan Sumatera dan juga secara signifikan akan mengurangi pemakaian BBM sebagai bahan bakar pembangkit listrik.

Proyek transmisi 500 kV Sumatera ini merupakan proyek pembangunan transmisi pertama yang menggunakan skema pembiayaan serta pembangunan penuh dilakukan oleh developer, dan selanjutnya dalam jangka panjang akan dimiliki PLN.

Bila semua tahap pembangunan ini selesai, ditargetkan pada 2020 telah tersedia “jalan tol listrik” Sumatera yang menghubungkan Muara Enim di Sumatera Selatan hingga Medan di Sumatera Utara.

 Pemurnian Mineral di Dalam Negeri 

Kebijakan yang ikut memukul perusahaan tambang besar ini, menjadi salah satu aturan yang banyak disorot.

Pemerintahan era SBY menyatakan, guna menindaklanjuti amanat UU No. 4 Tahun 2009, khususnya terkait dengan kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Inti dari peraturan pemerintah itu adalah pemegang kontrak karya dan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam, hanya diperbolehkan melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu, jika telah melakukan kegiatan permurnian.

Artinya, sejak 12 Januari 2014, pemegang IUP operasi produksi dan pemegang kontrak karya dilarang melakukan penjualan bijih (raw material/ore) ke luar negeri.

Hasil pengolahan dalam bentuk konsentrat tembaga, pasir besi, bijih besi, seng, timbal, dan mangan diperbolehkan dijual ke luar negeri hingga fasilitas pemurnian selesai paling lambat tiga tahun sejak Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2014 diundangkan.

Otoritas terkait, khususnya Direktorat Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan, pun siap mengawal aturan itu. “Pokoknya, per tanggal 12 Januari jam 00.00 WIB, semua mineral mentah tidak boleh diekspor,” ungkap Wakil Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro.

Beberapa perusahaan tambang besar, seperti PT Newmont Nusa Tenggara, pun ikut cemas. Mereka terhambat dalam mengekspor mineral mentahnya.

Newmont beralasan, larangan ekspor mineral mentah memicu kerugian bagi perusahaan.

Bahkan, Newmont dan pemegang saham mayoritasnya, Nusa Tenggara Partnership B.V. (NTPBV), suatu badan usaha yang berbadan hukum Belanda, pada Selasa 1 Juli 2014, sempat mengajukan gugatan ke arbitrase internasional terhadap Pemerintah Indonesia terkait dengan larangan ekspor itu.

Mereka menyebut adanya regulasi pemerintah itu, mengakibatkan dihentikannya kegiatan produksi di tambang Batu Hijau dan menimbulkan kesulitan serta kerugian ekonomi terhadap para karyawan Newmont, kontraktor, dan para pemangku kepentingan lainnya.

Meskipun, Newmont akhirnya mencabut gugatan arbitrase mereka di International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) setelah pemerintah membuka negosiasi formal dan menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Newmont.

 Renegosiasi Harga Gas Tangguh 

Momentum “keberhasilan” di era Pemerintahan SBY juga terlihat dalam renegosiasi harga jual gas LNG Tangguh, Papua. Tim renegosiasi pemerintah Indonesia dan pembeli dari Fujian, Tiongkok, sepakat untuk besaran harga jual gas itu.

Terhitung mulai 1 Juli 2014, harga jual gas LNG Tangguh ke Fujian berubah menjadi US$ 8 per mmbtu (juta british thermal unit) dari sebelumnya US$ 2,7 per mmbtu. Batasan maksimum harga JCC (Japan Crude Cocktail /harga acuan minyak mentah Jepang) yang sebelumnya sebesar US$ 38/bbl, kini ditiadakan.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, saat itu, Jero Wacik, menjelaskan, pada 2006, sempat dilakukan renegosiasi. Pihak penjual dan pembeli sepakat untuk menaikkan harga batas atas JCC menjadi US$ 38/bbl. Dengan kenaikan harga JCC, maka harga gas Tangguh meningkat menjadi US$ 3,3 per mmbtu.

Pada 2010, kembali terjadi renegosiasi, namun tidak berhasil mencapai kesepakatan harga. Selanjutnya, pada 2012, usai bertemu dengan Presiden China Hu Jintao, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono meminta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, saat itu, Jero Wacik, untuk melakukan renegosiasi harga gas Tangguh yang dijual ke Fujian, karena menurut Presiden masih belum fair, di tengah harga minyak dunia yang terus berubah harganya.

Amendment agreement kontrak baru ditandatangani pada 20 Juni 2014. Kita sepakati harga gas yang baru, ini merupakan kesepakatan yang luar biasa,” ujar Jero.

Kontrak LNG Tangguh merupakan kontrak ekspor LNG ke Provinsi Fujian, Tiongkok yang disahkan pada 2002 dan masih berlangsung hingga saat ini.

Perjanjian penjualan gas Tangguh itu ditandatangani Presiden Megawati pada 2002 dengan mematok harga flat yang sangat murah, yaitu US$ 3,3 per juta british thermal unit (MMBTU) selama 20 tahun.

Nilai kontrak ini sangat jauh di bawah harga pasaran internasional LNG saat ini, yaitu sekitar US$ 20 per MMBTU. Bahkan, lebih rendah dari harga di ladang gas lain, seperti LNG Bontang yang diekspor ke Jepang.

Direktur Eksekutif Reforminer Institut, Pri Agung Rakhmanto, menilai, salah satu pencapaian yang dinilai berhasil di era Pemerintahan SBY adalah renegosiasi harga gas Tangguh. Meskipun, kesepakatan itu dinilai biasa, karena selama empat tahun boleh dikaji ulang.

“Pencapaian di sektor energi pasti ada. Tapi, jika dilihat, tantangan di sektor energi lebih cepat pertumbuhannya dibanding pencapaian itu sendiri,” ujar dia kepada VIVAnews.

Namun, dia mengingatkan masih besarnya subsidi BBM yang dikhawatirkan tembus di atas Rp300 triliun. Bahkan, kuota BBM bersubsidi juga diperkirakan jebol tahun ini.★ Jalan Siput Internet di Era SBY Ilustrasi penggunaan internet.

 Penapisan ikut dituding sebagai penyebab koneksi lemot. 

Sebut saja namanya Wati. Lulusan sekolah menengah atas ini ingin berbakti pada kampung halamannya di Pulau Buru dengan melamar menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Ada beberapa posisi CPNS yang dibuka. Pendaftaran CPNS dilakukan secara online.

Namun, kampungnya di pelosok pulau di Provinsi Maluku itu tak memiliki koneksi Internet yang memadai. Wati lalu meminta tolong pada sepupunya yang bermukim di Kota Ambon untuk mendaftarkannya melalui Internet di Ibu Kota Provinsi Maluku itu.

Tapi, “Di Ambon, juga susah Internet, harus cari warung Internet,” kata Donny BU, peneliti senior di Information and Communication Technology (ICT) Watch, ditemui VIVAnews pada awal Oktober 2014 ini. Sepupu Wati pun pergi ke warung Internet. Ternyata, warnet sudah penuh dengan orang yang sibuk mendaftarkan diri atau kenalan menjadi CPNS.

Wati akhirnya berhasil mendaftarkan diri. Namun, dia menemukan kenyataan pahit, kebanyakan yang mendaftarkan diri untuk posisi CPNS di Pulau Buru berasal dari luar kampungnya.

Jadi, kata Donny, alih-alih efisiensi dan menghindarkan korupsi dengan pendaftaran secara online, yang muncul justru kesenjangan dan inefisiensi baru. “Pemerintah bicara e-government, tapi infrastruktur tidak ada, yang ada ya kesenjangan,” kata pengajar di Universitas Bina Nusantara itu.

 Kesenjangan Digital 

Hingga akhir 2013, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat pengguna Internet Indonesia menembus angka 71,19 juta, meningkat 19 persen dari tahun sebelumnya. Jumlah itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Samuel Abrijani Pangerapan, baru 28 persen dari populasi Indonesia, masih jauh dari target 50 persen populasi seperti tercantum dalam Millennium Development Goals pada 2014.

Penetrasi Internet tertinggi di Jakarta, 42,8 persen. Terendah, Papua Barat dengan hanya 15 persen. Secara umum, kata Samuel, penetrasi Internet di kawasan timur Indonesia sangat kecil, jauh di bawah rata-rata nasional.

Dan sebagian besar koneksi Internet itu mengandalkan jaringan telepon seluler atau nirkabel 2G atau 3G. Masyarakat Telematika (Mastel) menyatakan, hanya 3 persen penduduk Indonesia yang memiliki akses pita lebar atau generasi keempat. Dan jelas, akses ini terbatas di kota-kota besar di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Tak mengherankan, kecepatan Internet di Indonesia tergolong parah di skala global. Tahun 2014, kecepatan rata-rata adalah sekitar 2,5 megabite per detik (Mbps) alias urutan ke-101 dari seluruh negara. Posisinya jauh di bawah Singapura yang menduduki peringkat 21, Malaysia di urutan ke-69, dan Vietnam di posisi 90. Sementara itu, urutan pertamanya diduduki oleh Korea Selatan dengan kecepatan rata-rata 24,6 Mbps.

Padahal, kata Ketua Umum Mastel Setyanto P Santosa, koneksi pita lebar berkorelasi positif dengan produk domestik bruto sebuah negara. “Dalam studi yang dilakukan Bank Dunia pada 2009, sudah dinyatakan bahwa setiap kenaikan 10 persen penetrasi TIK (Broadband atau pita lebar) akan meningkatkan Produk Domestik Bruto sebesar 1,38 persen,” katanya, Selasa 26 Agustus 2014.

Indonesia, kata Setyanto, sebenarnya bisa menjadi salah satu negara yang mengambil manfaat ekonomi dari keberadaan kemajuan teknologi. Indonesia bisa meraih keuntungan, seperti pada sektor pembangunan, bisnis, transportasi, perdagangan, kesehatan, dan pendidikan yang saat ini membutuhkan telekomunikasi di dalamnya.

“Pengguna internet Indonesia sudah mencapai angka 75 juta, 80 persennya berusia antara 15-55 tahun dan pada umumnya, kita masih menggunakan jaringan nirkabel (wireless) jadi sinyalnya ndut-ndutan,” ucapnya.

Pengguna Internet Indonesia menembus angka 71,19 juta, meningkat 19 persen dari tahun sebelumnya (VIVAnews/Amal Nur Ngazis)

 Perpres Pita Lebar 

Di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, tahun 2010, Kementerian Komunikasi dan Informatika menggelar program Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK) dan Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan (M-PLIK). Berbekal dana Universal Service Obligation (USO) yang berasal dari para penyelenggara jasa Internet sebesar Rp2,4 triliun, pemerintah mencoba memperluas akses Internet ke pelosok-pelosok dengan menghadirkan koneksi Internet yang mengandalkan satelit.

Sepanjang 2010-2012, diadakan 5.748 unit PLIK dan 1.907 MPLIK. Hasilnya, sebagian bekerja dengan baik, namun sebagian besar justru menyisakan masalah. Ada yang tak efektif karena tak ada sumber daya listrik, kondisi lokal yang sulit dijangkau, korupsi, penyalahgunaan, dan sebagainya.

Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat sampai kemudian membentuk Panitia Kerja untuk mengusut proyek ini. “Ditemukan banyak penyimpangan dalam pelaksanaannya,” kata anggota Komisi I DPR, Tantowi Yahya, April 2013. DPR juga merekomendasikan Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit proyek ini.

Anggota Komisi I dari Fraksi PDIP Helmy Fauzi mengungkapkan temuan panja di sejumlah daerah mengindikasikan program itu salah sasaran. Menurut dia, banyak yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya bahkan menimbulkan kekisruhan dengan pemerintah daerah setempat.

“Misalnya, dalam satu peresmian ditandatangani oleh bupati dengan seremoni, tetapi berikutnya bupati tidak tahu ke mana barang itu. Itu salah satu contoh,” ujarnya kepada VIVAnews.

Temuan lain, program layanan internet kecamatan ini diperjualbelikan, sehingga bergeser fungsinya dari upaya menciptakan komunikasi Internet yang murah untuk masyarakat menjadi semacam warnet biasa. “Yang kadang-kadang perangkat komputernya digunakan untuk main game, dan tempatnya justru di pusat-pusat perkotaan dekat dengan warnet-warnet biasa. Itu misalnya di Bangka Tengah, Bangka Belitung,” kata dia.

Kementerian Kominfo tidak memungkiri ada persoalan di lapangan dalam pelaksanaan proyek itu. Tifatul Sembiring, Menteri Kominfo, juga telah menjelaskan soal program ini di depan DPR. Dan sampai akhir masa jabatan Tifatul yang mundur dua pekan sebelum masa jabatan habis karena terpilih sebagai anggota DPR, kasus PLIK/MPLIK ini menggantung.

Selain PLIK/MPLIK, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono menyadari perlunya koneksi pita lebar ini. Di awal pemerintahan, pada 2009, SBY telah mencanangkan “Indonesia Tersambung” dari Sabang sampai Merauke. Mei 2013, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring meresmikan groundbreaking pembangunan jaringan fiber optic broadband atau pita lebar Palapa Ring Sulawesi-Maluku-Papua di kantor PT Telkom Ternate.

Palapa Ring ini adalah pembangunan jaringan serat optik dan telah menyambungkan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Untuk tahap Sulawesi Papua Cable System ini akan memakan biaya lebih kurang Rp 2 triliun yang sepenuhnya dikerjakan PT Telkom Indonesia Tbk.

Menjelang akhir masa kepresidenan, SBY mengeluarkan Peraturan Presiden No 96 Tahun 2014 tentang panduan strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan pitalebar (Broadband) di wilayah Indonesia periode 2014-2019. Perpres ini kemudian ditindaklanjuti Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dengan meluncurkan Rencana Pitalebar Indonesia (RPI) 2014-2019.

RPI mengatur lima sektor prioritas pembangunan pita lebar yang ditetapkan, yaitu e-pemerintah, e-kesehatan, e-pendidikan, e-logistik, dan e-pengadaan. Investasi yang diperkirakan hingga 2019 mencapai Rp 278 triliun atau sebesar 0,46 persen dari pendapatan domestik bruto. Kontribusi APBN dalam investasi tersebut diperkirakan sebesar 10 persen, sedangkan sisanya diharapkan dari sektor swasta.

Targetnya, pada 2019, prasarana pita lebar dalam bentuk akses tetap diharapkan sudah menjangkau wilayah perkotaan, 71 persen rumah tangga. Sementara itu, di daerah pedesaan diharapkan dapat menjangkau 49 persen rumah tangga yang ada.

“Infrastruktur broadband ini khususnya untuk meningkatkan produktivitas dari sisi ekonomi,” kata Menteri PPN/Kepala Bappenas, Armida Alisjahbana, di acara peluncuran RPI, Rabu 15 Oktober 2014.

Wakil Menteri PPN/Bappenas, Lukita Dinarsyah Tuwo, menyatakan, setiap 10 persen penetrasi Internet di negara berkembang akan meningkatkan 1,5 persen produktivitas pekerja di negara tersebut. Setiap 10 persen peningkatan penetrasi Internet, mendorong 1,38 persen pertumbuhan ekonomi di negara berkembang, sedangkan di negara maju sebesar 1,2 persen.

“Apabila desa-desa kita dan saudara-saudara kita di daerah terpencil mempunyai akses Internet, kreativitas yang baik, daya saing meningkat dan kesenjangan akan menurun,” kata Lukita.

Namun, pakar teknologi informasi, Onno W Purbo, berpendapat lain soal konektivitas yang lemot ini. Onno W. Purbo mengatakan, secara logika internet mempunyai kecepatan yang tinggi, karena fiber optiknya ada di “depan hidung”, jadi tinggal “menarik” saja.

Menurut Onno, meskipun koneksi pita lebar sudah menjangkau seluruh wilayah Indonesia, jika server masih berpusat di Amerika, maka koneksi tetap bisa lamban. Belum lagi, koneksi ke server di Amerika itu pun masih pula harus melewati Singapura sebagai hub untuk Asia Tenggara.

 Blokir dan Penapisan 

Penapisan juga dituding sebagai penyebab koneksi lemot. Undang-undang Informatika dan Transaksi Elektronik mengatur, penyedia jasa Internet bertanggung jawab atas konten yang melalui infrastrukturnya. Para penyedia jasa Internet harus menggunakan filter untuk menyaring laman atau konten yang dianggap menyebarkan pornografi, perjudian, atau yang dianggap membahayakan atau melanggar hukum.

Sebagian besar penyedia jasa Internet menggunakan filter DNS Nawala yang dikelola Yayasan Nawala Nusantara.

Kementerian Komunikasi dan Informatika juga membangun daftar hitam situs negatif sendiri yang diberi nama Trust Positif. ICT Watch melaporkan, per Maret 2014, untuk kategori “pornografi internasional”, terdapat 744.032 domain dan 54.795 situs yang masuk dalam daftar hitam. Jika Nawala memiliki prosedur keluhan, Trust Positif ini hanya menyediakan alamat e-mail aduan. Jika sebuah situs masuk daftar hitam, penyedia jasa Internet wajib menindaklanjutinya.

Alhasil, sejumlah situs baik-baik turut menjadi korban blokir penyedia karena masuk dalam daftar yang disusun Kominfo ini. Situs www.malesbanget.com misalnya, ikut kena blokir karena mengandung kata “male” dan “bang”, dua kata yang terasosiasi dengan pornografi dalam Bahasa Inggris.

Namun, sejumlah konten atau situs yang banyak dikeluhkan masyarakat juga masih tetap eksis. ICW Watch misalnya, pernah melaporkan sebuah video yang berisi ceramah seorang pemuka Front Pembela Islam (FPI) yang menyatakan “halal membunuh anggota Jemaat Ahmadiyah”. Namun, video ini tetap beredar di situs YouTube.

ICT Watch sudah berusaha mencari tahu siapa penyusun daftar hitam di Trust Positif ini. Dan investigasi itu gelap, berujung di birokrasi Kementerian Komunikasi dan Informatika.

“Sudah dia yang kasih izin, dia yang awasi, dia yang blokir, powerful sekali,” kata Donny BU, peneliti senior ICT Watch. “Apa bedanya dengan Deppen 2.0,” kata Donny menyebut singkatan nama Departemen Penerangan yang di masa Orde Baru bisa menentukan nyawa penerbitan.

Penerapan berlebihan UU ITE ini bukan saja menimpa situs atau domain. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET) mencatat, sejak UU No 11 Tahun 2008 itu berlaku, sudah lebih dari 60 kasus kriminalisasi atas apa yang dilakukan orang di ranah online atau Internet. Rata-rata, mereka dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 (1) yang mengatur soal pencemaran nama baik.

Seseorang bisa dijerat karena informasi atau komentar di Facebook, Twitter, status BlackBerry Messenger, pesan singkat, dan komentar di berita di media online.

Ancaman pidananya tak main-main. Penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimum Rp 1 miliar. Untuk dibandingkan, pasal 310 (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, ancaman hukumannya maksimal 1 tahun 4 bulan penjara atau denda maksimal Rp 4.500.

Dua kali sudah pasal-pasal di UU ITE ini digugat ke Mahkamah Konstitusi. Tahun 2008, Mahkamah Konstitusi menolak menghapuskan aturan itu, karena menilai nama baik, martabat atau kehormatan seseorang adalah kepentingan hukum yang dilindungi hukum pidana dan konstitusi.

Tahun 2009, MK juga menyatakan sanksi yang lebih besar di UU ITE itu wajar, karena mengingat distribusi dan penyebaran informasi lewat Internet lebih cepat, berjangkauan luas dan memiliki dampak masif. Langkah terakhir, setelah dilobi, Kominfo bersedia mengajukan revisi atas UU ITE tersebut, namun DPR menolak melakukannya.

Awal Oktober 2014 ini, sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan organisasi yang prihatin dengan UU ITE ini, kemudian bersepakat untuk kembali mengajukan revisi. ICT Watch, SAFENET, Elsam, Aliansi Jurnalis Independen, Lembaga Bantuan Hukum Pers, dan beberapa lembaga lainnya berhimpun membentuk Koalisi Internet Tanpa Ancaman (KITA).

“Pilihannya, apakah merevisi sejumlah pasal dalam Undang-undang ITE atau mengajukan draf rancangan undang-undang baru,” kata Wahyudi Djafar, juru bicara KITA. Mereka berharap banyak pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla nanti lebih serius memperhatikan isu Internet ini.(art)


  ★ Vivanews