Saat kita mengalami luka, tubuh akan menanggapinya dengan mengirimkan sel imun untuk menghentikan dan memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan. Jika tidak, maka kerusakan, baik pada jaringan maupun organ, akan semakin meluas dan berbahaya, bahkan bisa berujung pada kematian.
Dalam hal ini, kecepatan pergerakan sel imun menjadi faktor penentu. Namun di sisi lain, tubuh kita merupakan struktur kompleks yang tersusun dari beragam sel dan matriks ekstraseluler.
Bayangkan labirin dengan berbagai ukuran dinding dan celah yang berbeda. Hal ini tentunya menjadi rintangan bagi sel imun untuk dapat leluasa bergerak menembus jalur yang diperlukan untuk sampai pada area luka. Lantas, bagaimana cara sel imun agar dapat terhindar dari “kemacetan” di dalam tubuh?
Ternyata, sel imun dapat memeriksa keberadaan rintangan sebelum memilih jalur terbaik untuk dilewati. Proses ini dilakukan dengan membentuk beberapa tonjolan sitoplasma yang berperan sebagai pengukur diameter jalur potensial.
Pengukuran ini memberikan informasi mengenai jalur mana yang paling lebar diantara pilihan yang tersedia. Lalu, sel akan mencoba untuk memosisikan nukleus di depan agar dapat menembus jalur tersebut.
Jika nukleus, yang merupakan bagian sel paling padat, dapat lewat dengan lancar, maka bagian sel lain tidak akan mengalami kendala yang berarti. Proses ini juga menjamin bahwa nukleus tidak mengalami kerusakan saat sel bergerak.
Setelah sel memutuskan jalur mana yang akan dilewati, tonjolan sitoplasma yang tertinggal di jalur lain akan ditarik menggunakan sitoskeleton (kerangka sel) yang tersusun dari mikrotubulus.
Hasil penelitian ini memberikan pengetahuan baru mengenai bagaimana mekanisme sel bergerak. Sebelumnya, diketahui bahwa sel dapat mendeteksi perbedaan konsentrasi senyawa kimia tertentu dalam tubuh dan menggunakannya sebagai alat navigasi via kemotaksis. Namun, mekanisme penentuan jalur sel belum banyak diketahui.
Dengan adanya informasi ini, diharapkan kita dapat memahami pergerakan sel kanker, yang juga memiliki pola pergerakan serupa untuk dapat bermigrasi ke lokasi lain dalam tubuh, sehingga penyebarannya dapat dicegah. Penelitian ini dipublikasikan di jurnal Nature.
Sumber:
kompas