Pemerintah Republik Indonesia menunjukkan keseriusannya hendak mengambil alih kontrol atas ruang udara atau FIR (flight information region) di Kepulauan Riau –antara lain mencakup Batam, Tanjungpinang, dan Natuna– yang selama ini dipegang Singapura. Pejabat tinggi RI telah bertemu Singapura dan Malaysia.
Presiden Jokowi mengutus Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan untuk berbicara dengan kedua negara tetangga Indonesia itu.
“Saya diperintahkan Presiden dan kami bicara baik-baik. Saya sudah bicara dengan Deputi Perdana Menteri Singapura dan Deputi Perdana Menteri Malaysia. Tidak ada masalah,” kata Luhut kepada CNN Indonesia di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, akhir September.
Singapura dan Malaysia disebut Luhut tak keberatan dengan keinginan Indonesia mengelola seluruh ruang udaranya sendiri. “Mereka mendukung kita mengambil alih (ruang udara) pada waktunya nanti, tiga-empat tahun dari sekarang,” ujar Luhut.
Saat ini Indonesia tengah menyiapkan sumber daya manusia dan infrastruktur untuk mengelola ruang udara di atas Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura itu.
Awal September, Jokowi telah memerintahkan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo untuk memodernisasi peralatan dan meningkatkan kemampuan personel agar Indonesia siap mengelola ruang udaranya sendiri secara mandiri.
Luhut menyatakan, persoalan kontrol ruang udara sesungguhnya bukan masalah kedaulatan. Ia membantah Indonesia berniat ‘merebut’ FIR dari Singapura karena penyusupan yang kerap dilakukan jet-jet tempur Negeri Singa ke zona udara RI.
“Jangan dicampur aduk. Ini masalah manajemen, dan soal ini akan kita selesaikan dengan baik dengan pemerintah Singapura. Memang sudah waktunya (Indonesia mengelola FIR sendiri). Semangatnya baik,” ujar Luhut.
Mantan Kepala Staf Presiden itu yakin Indonesia bisa mengambil alih FIR Kepulauan Riau dalam tiga tahun asal berupaya dengan serius.
Berdaulat di udara
Kontrol ruang udara di atas Kepulauan Natuna. (Dokumen Chappy Hakim/Red & White Publishing) ☆Dalam buku “Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia?” yang ditulis mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Purnawirawan Chappy Hakim, diceritakan bahwa pada pertemuan antara pemerintah Indonesia dan Singapura di Bali, Januari 2012, tercapai kesepakatan bahwa FIR wilayah Kepulauan Riau yang dikuasai Singapura akan dikembalikan ke Indonesia.
Salah satu dasar hukum pengambilalihan FIR itu ialah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pasal 5 Bab IV soal Kedaulatan Atas Wilayah Udara dalam UU tersebut berbunyi, “Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia.”
Acuan hukum berikutnya, masih pada UU Penerbangan, tercantum pada Pasal 458 Bab XXIV Ketentuan Penutup yang berbunyi, “Wilayah udara Republik Indonesia, yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian, sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.”
Berdasarkan UU Penerbangan yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 Januari 2009 itu, jelas bahwa ruang udara Indonesia yang dikendalikan asing harus berada dalam kontrol Indonesia paling lambat tahun 2024.
Selain UU Penerbangan sebagai payung hukum, Pasal 1 Konvensi Penerbangan Sipil Internasional (Konvensi Chicago 1944) berbunyi serupa. “Every state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.”
Rencana pengambilalihan kendali ruang udara Indonesia dari Singapura yang lebih cepat, tiga-empat tahun lagi, mendapat dukungan Komisi I Bidang Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat RI.
Menurut anggota Komisi I Tubagus Hasanuddin, hanya satu ruang udara di wilayah Indonesia yang saat ini dalam kontrol asing, yakni Kepulauan Riau. Sementara dua ruang udara lainnya di RI sejak dulu dikendalikan oleh Indonesia sendiri. Satu dikendalikan dari Jakarta, dan satu lagi dari Makassar, Sulawesi Selatan.
“Memang semua ruang udara Indonesia harus kita yang kendalikan. Wilayah kita kok diatur Singapura? Itu dulu pemerintahan Soeharto yang membuat perjanjian. Kalau sudah habis batas waktunya ya kita ambil,” kata mantan perwira tinggi TNI Angkatan Darat itu.
Soal ruang udara RI ini juga menjadi pembahasan serius di Komisi I DPR. Bila Luhut menyebut FIR ialah soal manajemen semata, Wakil Ketua Komisi I Tantowi Yahya mengatakan ada dua kepentingan Indonesia soal FIR.
“Ada dua aspek. Yang pertama dan terutama, soal kedaulatan. Mestinya wilayah kita memang kita atur sendiri. Yang kedua, soal ekonomi,” kata politikus Golkar itu.
Soal kedaulatan ini juga dikemukakan Komandan Pangkalan TNI AU Tanjungpinang, Letnan Kolonel Penerbang I Ketut Wahyu Wijaya, yang kerap melihat pesawat tempur Singapura berlatih di langit sebelah utara Pulau Bintan, Kepulauan Riau.
Menurut Ketut, ruang udara Kepulauan Riau yang dikendalikan Singapura dijadikan Negeri Singa itu sebagai celah untuk berlatih militer di angkasa Indonesia.
“FIR di kawasan itu memang mutlak diatur Singapura. Tapi tidak berarti Indonesia juga mendelegasikan kedaulatan kepada mereka,” ujar Ketut.
Kekayaan di langit
Atraksi Pesawat TNI AU ☆Aspek ekonomi yang disinggung Tantowi pun diamini Ketut. Negara pengendali ruang udara otomatis mendapat keuntungan dari pesawat yang melintas di wilayah itu.
“Tiap pesawat yang melintas di wilayah FIR bayar US$ 6. Padahal setiap menit, untuk satu jalur saja, ada puluhan pesawat yang lewat. Kalau sehari semalam, 24 jam, sudah dapat berapa itu. Kompensasi ke Indonesia hanya 50 sen. Bayangkan berapa yang akan didapat Indonesia kalau FIR kita pegang sendiri,” ujar Ketut.
Mantan KSAU Chappy Hakim dalam bukunya mengatakan, upaya mengambil alih kedaulatan udara Kepulauan Riau dari Singapura sesungguhnya telah berlangsung sejak tahun 1993 dalam pertemuan Navigasi Udara Regional yang digelar Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau ICAO (International Civil Aviation Organization) di Bangkok, Thailand.
Sayangnya, menurut pakar hukum udara Prof. Dr. HK Martono seperti diceritakan Chappy, pemerintah Indonesia hanya mengirim pejabat operasional dalam pertemuan sepenting itu. Tak sebanding dengan Singapura yang mengirim para pejabat tingginya, mulai Jaksa Agung, Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan, serta para penasihat hukum laut internasional asal negara itu.
Dengan komposisi delegasi kedua negara yang seperti itu, Indonesia tak mendapat apa-apa. Soal ruang udara Kepulauan Riau dikembalikan ke Indonesia dan Singapura untuk diputuskan secara bilateral.
“Soal lobi, Singapura memang lebih licin dari kita,” ujar Chappy.
Ruang udara Kepulauan Riau jatuh ke tangan Singapura sejak 69 tahun lalu, satu tahun sejak Indonesia merdeka. Singapura menguasai sekitar 100 mil laut wilayah udara Indonesia. Satu mil laut ialah 1.825 kilometer.
Kuasa Singapura atas langit Indonesia itu ditetapkan dalam pertemuan ICAO di Dublin, Irlandia, pada Maret 1946. Ironisnya, saat keputusan itu dibuat, delegasi Indonesia tak hadir. Ketika itu pun Singapura masih dikuasai oleh Inggris.
“Situasinya kita baru merdeka. Sehingga peserta pertemuan menyerahkan kendali ruang udara kepada otoritas yang dianggap terdekat, yaitu Singapura,” kata Chappy.
Menurut KSAL periode 2002-2005 itu, FIR juga soal duit. Sama seperti yang diutarakan Tantowi dan Ketut.
Berdasarkan mandat ICAO di Dublin 69 tahun silam itu, Singapura tak hanya berwenang mengatur lalu lintas udara di langit Kepulauan Riau, tapi juga berhak memungut bayaran dalam Dolar AS dari seluruh maskapai penerbangan yang melintasi FIR itu.
Sebagian dari bayaran yang diterima Singapura, diserahkan kepada Indonesia.
“Ruang udara yang begitu luas adalah sumber ekonomi yang luar biasa. Di bawahnya ada Selat Malaka yang menjadi jalur lalu lintas laut tersibuk di dunia. Ini semua ada korelasinya,” kata Chappy.
Persoalan ekonomi itu, ditambah aspek kedaulatan dan keamanan bangsa, ujar Chappy, membuat pengambialihan ruang udara Kepulauan Riau dari Singapura ke Indonesia wajib dilakukan.
Chappy berkata, “Hong Kong saja yang 100 tahun lebih dikuasai Inggris dikembalikan kepada pemilik sahnya, China. Kenapa kita tidak bisa?” (agk)