Dunia kedirgantaraan Tanah Air kembali berduka. Pesawat latih tempur milik TNI Angkatan Udara jatuh di pemukiman padat penduduk di Jalan Laksda Sucipto, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur, sekitar pukul 10.00 WIB, Rabu 10 Februari 2016. Pesawat jenis EMB 314 Super Tucano itu jatuh menimpa rumah milik Mujianto.
Dua warga sipil yang tengah berada di dalam rumah meninggal dunia, setelah tertimpa badan pesawat. Dua korban tewas bernama Erna Wahyuningtyas, yang tak lain adalah istri dari Mujianto, si pemilik rumah. Sedangkan satu warga lain adalah Nurcholis, orang yang tinggal kos di rumah Mujianto.
Kabar duka juga datang dari sang pilot, Mayor (Pnb) Ivy Safatillah. Meski sempat eject dengan kursi pelontar, namun kondisinya tak tertolong. Mayor Ivy ditemukan tewas di areal persawahan di Dusun Bunut, Kecamatan Singosari, Kota Malang.
Jasad sang pilot ditemukan dalam kondisi telungkup di lumpur sawah, dan kursi pilotnya ditemukan sekitar 100 meter dari lokasi ditemukan jasad. Sedangkan seorang kru pesawat Serma Syaiful Arief Rahman, juga ditemukan tewas di dalam kokpit pesawat.
Kepala Staf TNI Angkatan Udara, Marsekal TNI Agus Supriatna membenarkan insiden jatuhnya pesawat latih jenis Super Tucano milik TNI AU di Malang, Jawa Timur, pada Rabu pagi.
Menurut Marsekal Agus, pesawat latih buatan Brasil tersebut jatuh, saat pilot tengah melaksanakan test flight, setelah pemeliharaan 300 jam terbang.
“Saat (terbang) 25 ribu (kaki) tidak ada kendala, 15 ribu (kaki) tidak ada masalah, setelah turun ke bawah terjadilah,” kata Marsekal Agus, saat diwawancarai tvOne, Rabu.
Marsekal Agus menegaskan, pihaknya belum dapat menjelaskan secara detail kejadian jatuhnya pesawat latih tempur TNI AU. Ia ingin memastikan kejadian sebenarnya di lokasi berikut dengan korbannya. “Saya akan ke sana, mau lihat langsung, saya sudah dalam pesawat,” ujar dia pada kesempatan yang sama.
Lebih dari itu, insiden jatuhnya pesawat Super Tucano di awal tahun ini menambah daftar panjang kecelakaan pesawat TNI AU dalam setahun terakhir. Apalagi, belum genap dua bulan, insiden serupa juga terjadi di penghujung tahun 2015.
Ya, pesawat tempur T-50 Golden Eagle milik TNI AU jatuh, usai melakukan manuver “Loops” di atas Landasan Udara Adisutjipto, Yogyakarta, Minggu 20 Desember 2015. Dua awak pesawat, pilot Letkol (Pnb) Marda Sarjono dan kopilot Kapten (Pnb) Dwi Cahyadi tewas di tempat.
Sebelum Golden Eagle jatuh, setidaknya empat insiden kecelakaan pesawat militer terjadi sepanjang 2015. Di antaranya, insiden tabrakan yang melibatkan pesawat KT-I B Wong Bee, yang digunakan Jupiter Aerobatic Team (JAT) TNI AU di Langkawi, Malaysia, pada 15 Maret 2015. Beruntung, pilot dan kopilot berhasil menyelamatkan diri dengan kursi pelontar.
Kemudian, sebuah jet tempur F-16 milik TNI AU terbakar, setelah gagal lepas landas di Pangkalan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma di Jakarta pada Kamis pagi, 16 April 2015. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Sang pilot, Letkol Penerbang Firman Dwi Cahyono berhasil keluar menyelamatkan diri sebelum pesawat terbakar hebat.
Lebih dua bulan setelah kejadian itu, kecelakaan pesawat TNI AU kembali terjadi. Pesawat angkut Hercules jenis C130 jatuh dan menimpa permukiman di Kota Medan, Sumatera Utara, pada Senin siang, 30 Juni 2015. Sebanyak 141 orang tewas tewas dalam insiden itu, termasuk para prajurit TNI dan warga sipil di pesawat itu, serta warga kota yang tertimpa.
Pesawat baru
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu memastikan akan menginvestigasi insiden jatuhnya pesawat di Malang, termasuk jatuhnya T-50 Golden Eagle di Yogyakarta belum lama ini. Kemenhan bersama TNI, lanjutnya, akan mengevaluasi semua perlengkapan dan prosedur dalam penggunaan alutsista.
“Kita lihat dulu itu, karena apa (jatuhnya)? Karena pesawat, orang, atau apa? Bisa juga cuaca,” kata Ryamizard di Gedung DPR RI, Rabu 10 Februari 2016.
Ryamizard menegaskan, pesawat Super Tucano yang jatuh merupakan pesawat yang tergolong pengadaan baru, buatan tahun 2003. Pesawat tempur ringan itu dipesan dari perusahaan Embraer Defence System, Brasil. Karena itu, Ryamizard yakin, jika pesawat itu kondisinya masih layak untuk terbang.
“Itu baru, buatan 2003 belum terlalu lama. Kondisinya baik,” ujar mantan KSAD ini.
Sebagaimana diketahui, Pemerintah RI melakukan kontrak pembelian pesawat tempur ringan Super Tucano senilai US$284 juta untuk 16 unit, atau setara Rp2,1 triliun. Super Tucano datang dari negara asalnya, Brasil, secara bertahap ke Indonesia sejak 2012.
Super Tucano mampu terbang rendah dalam waktu yang lama, sehingga cocok untuk anti-gerilya. Biaya operasi tidak tinggi, perawatan murah, dan bisa mendarat di landasan pacu sederhana. 16 pesawat Super Tucano nantinya akan menggantikan pesawat OV-10 Bronco Skuadron Udara 21 Lanud Abdulrahman Saleh, Malang.
Terlepas dari insiden itu, Ryamizard memastikan proses pengadaan pesawat buatan Brasil itu terus berjalan sampai berjumlah satu skuadron. “Proses pengadaan enggak ada masalah. Masalahnya sekarang, kenapa jatuh itu. Tiap ada kejadian pasti evaluasi,” ucapnya.
Sementara itu, Istana Kepresidenan menyatakan bela sungkawa atas jatuhnya pesawat latih tempur TNI AU di Malang, Rabu 10 Februari 2016. Menurut Sekretaris Kabinet Pramono Anung, jatuhnya Super Tucano ini terjadi tidak lama, setelah pesawat T50i Golden Eagle juga jatuh di Yogyakarta pada 20 Desember 2015.
“Yang jelas bahwa ini adalah kejadian yang berikutnya setelah Yogya, maka tentunya ada beberapa hal yang perlu dilakukan perbaikan dalam proses latihan,” kata Pramono, di Istana Negara, Jakarta, Rabu 10 Februari 2016.
Pramono mengatakan, TNI AU harus melihat kondisi pesawat, apakah layak atau tidak. Sebab, jatuhnya pesawat baik di Malang maupun di Yogyakarta, hanya dua penyebabnya, yakni human error, atau technical error.
Pramono menduga, kemungkinan terbesar jatuhnya pesawat tempur itu adalah technical error. Sebab, setelah dicermati, pesawat ini ternyata usianya masih tergolong baru. Hal ini menunjukkan, ada sesuatu yang perlu dievaluasi dalam sistem alutsista RI.
“Sebab, kalau dilihat penerbang baik di Yogya atau di Malang ini adalah penerbang lulusan AU. Artinya, adalah seseorang dengan kemampuan, kapasitas dan kapabilitas yang mencukupi untuk menerbangkan pesawat,” jelas Pramono.
Perawatan disorot?
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Tubagus Hasanudin menekankan perlunya investigasi yang jujur dan terbuka soal jatuhnya pesawat Super Tucano di Malang. Sebab, seharusnya pesawat tersebut memiliki kondisi yang prima, setelah mendapat perawatan usai terbang selama 300 jam.
“Kan itu baru perawatan 300 jam dan waktu itu dilakukan teorinya ketika selesai pemeliharaan harus dalam kondisi prima, mengapa malah jatuh menukik?” kata Tubagus di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu, 10 Januari 2016.
Terkait dengan beberapa kejadian pesawat tempur milik TNI AU yang jatuh, politikus PDI Perjuangan (PDIP) itu akan menunggu investigasi lengkap. Karena, setiap jenis pesawat punya umur yang berbeda.
“Dari beberapa pesawat umurnya berbeda, ada lama dan ada baru, dan harus diadakan investigasi detail. Komisi I selesai investigasi, maka akan mengundang (pihak terkait) dan diskusikan. Ada apa, karena cukup mahal harganya?” tegasnya.
Lain halnya dengan Alvin Lie, pengamat penerbangan ini justru menyoroti kasus jatuhnya pesawat TNI, karena kondisi teknis pesawat. Salah satunya adalah, memastikan apakah selama ini perawatan pesawat-pesawat tempur TNI sesuai dengan manual perawatannya, dan apakah anggaran perawatannya dikelola secara disiplin.
“Sebab, kalau dari penerbangnya tidak meragukan. Di Malang ini kan penerbangnya Mayor, ini sudah senior, kondisi cuaca juga enggak buruk-buruk amat,” kata Alvin kepada VIVA.co.id, Rabu 10 Februari 2016.
Memastikan perawatan pesawat sesuai manual book, dinilai Alvin sangat penting, apalagi kondisi pesawat belum tua. Ditambah lagi, saat pesawat itu jatuh tengah melaksanakan test flight, setelah pemeliharaan 300 jam terbang.
“Harusnya pesawat dalam kondisi baik, karena sudah dalam pemeriksaan. Perlu dicari penyebabnya, apakah ada kecerobohan teknisi, bisa kondisi pesawat, bisa bahan bakarnya,” papar mantan Anggota DPR RI dari Fraksi PAN ini.
Atas kejadian ini, Alvin berharap, TNI AU melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem perawatan pesawat-pesawat. Ia khawatir, kejadian ini akan terus terulang, apabila TNI tidak memperhatikan kualitas pemeliharaan dan memastikan anggaran perawatan alutsista cukup.
“Karena kalau tidak, pertama, pesawat ini harganya mahal. Kedua, kalau kecelakaan itu lebih mahal lagi. Karena, menciptakan penerbang itu jauh lebih mahal. Menciptakan SDM (sumber daya manusia) yang handal itu juga lebih mahal,” tegasnya.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu memastikan adanya aturan yang memperketat pengadaan dan pemeliharaan pesawat militer. Sayangnya, Ryamizard tidak menjelaskan detail aturan pemeliharaan pesawat yang dimaksud.
“Pemeliharaan itu sangat penting. Baru, tetapi pemeliharaan tidak bagus, fatal. Tapi pesawat lama pemeliharaan bagus, kalau pemeliharaan bagus, tidak akan fatal,” ujar Ryamizard. (asp)