Solidaritas Pelaut Indonesia meminta pemerintah mempertimbangkan kembali pembangunan 30 kapal patroli yang direncanakan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan.
Alasannya, harga Rp 7,5 triliun untuk 30 kapal dinilai terlampau tinggi.
“Kami harap pemerintah meninjau ulang pengadaan ini. Sebab, kapal patroli paling besar 200 ton dan harganya paling mahal Rp 60-70 miliar per unit. Apalagi kapal patroli juga senjatanya biasa saja,” tutur Ketua Solidaritas Pelaut Indonesia (SPI) Pius Ladja Pera di Jakarta, Senin (9/5).
Direktorat KPLP Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan rencananya membangun 30 kapal patroli kelas I untuk meningkatkan penjagaan laut dan pantai.
Untuk membangun 30 kapal patroli ini, pemerintah menganggarkan dana Rp 7,5 triliun atau Rp 250 miliar per kapal dengan masa pengerjaan selama tiga tahun.
Saat ini, pengadaan sudah memasuki tahap kualifikasi lelang. Diharapkan, kapal bisa dioperasikan dalam tiga tahun.
Menurut Direktur KPLP Karolus, saat ini Indonesia baru memiliki tujuh kapal patroli kelas I.
Selain itu, masih ada 14 kapal patroli kelas II dan 40 kapal patroli kelas III.
Sebanyak 400 unit kapal KPLP kelas patroli IV dan V juga akan diganti dari yang sebelumnya berbahan fiber menjadi rigid inflatable boat.
Kapal patroli kelas I yang diperlukan harus memiliki kemampuan manuver dan kecepatan tinggi.
Dengan demikian, kapal ini mampu mencegah pencurian, penyelundupan, bahkan kecelakaan laut.
Rencananya, ke-30 kapal ini akan ditempatkan di lima pangkalan utama, yaitu di Tanjung Priok, Tanjung Perak, Bitung, Tual, dan Tanjung Uban.
Pius menambahkan, pembangunan kapal patroli tentu akan bermanfaat untuk pengamanan wilayah perairan.
Namun, dengan anggaran yang ada, bisa dibangun sekitar 100 kapal patroli, bukan hanya 30.