Perusahaan tersebut berlokasi di Bontang, Kalimantan Timur. Berada satu komplek dengan PT Pupuk Kaltim, anak perusahaan PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC). Amoniak ini sangat penting untuk memperkuat pabrik pupuk kita. Selama ini kita membeli amoniak dari pabriknya Mitsui itu.
Pupuk Kaltim sendiri kini tengah membangun pabrik baru di Bontang. Itulah pabrik ke-5 dengan kapasitas 1,2 juta ton per tahun. Akhir tahun ini pabrik baru tersebut sudah berproduksi. Bersamaan itu pabrik ke-1 yang dibangun tahun 1974 “dimatikan”. Pabrik ini sudah sangat tua. Kapasitasnya juga hanya 660.000 ton. Dan lagi sangat boros. Untuk memproduksi 1 ton urea diperlukan gas sebanyak 35 mmbtu. Padahal di pabrik baru nanti, 1 ton pupuk cukup menggunakan gas 23 mmbtu.
Saat ini di PT Pupuk Sriwijaya Palembang juga sedang dibangun pabrik baru. PT pupuk Kujang juga siap-siap ekspansi. Demikian juga PT Petrokimia Gresik. Dengan ekspansi anak-anak perusahaan itu, tiga tahun lagi PIHC sudah akan menjadi pabrik pupuk terbesar ke-5 di dunia.
Ini sekaligus menjadi bukti bahwa dengan disatukan dalam satu holding sebuah BUMN mengalami perkembangan yang pesat. Anak-anak perusahaan PT PIHC yang dulunya BUMN bisa bersaksi bahwa mereka terus mengalami kemajuan. Aset mereka saat disatukan dulu sebesar Rp 34 triliun. Kini, hanya dua tahun kemudian, sudah menjadi Rp 62 triliun!
Saat ini tinggal satu pabrik pupuk yang masih sulit berkembang: PT Pupuk Iskandar Muda di Aceh. Padahal itulah satu-satunya industri besar yang ada di Aceh. Karena itu saya menugaskan PIHC untuk mencari jalan keluar agar pabrik pupuk Iskandar Muda jangan sampai tutup. Jangan sampai menyusul tetangganya di situ: PT ASEAN Aceh Fertilizer yang sudah tutup lebih 10 tahun yang lalu.
Persoalannya memang berat: tidak ada lagi kecukupan gas di sana. Sudah habis. Sudah 30 tahun lebih dikirim ke Jepang dalam bentuk LNG. Bagaimana caranya agar Iskandar Muda tetap bertahan? Bahkan dikembangkan?
Saya minta Arifin Tasrif, Dirut PIHC, untuk melakukan studi pembangunan pipa gas dari Riau ke Medan. Mengapa? Karena saat ini Pertagas (anak perusahaan Pertamina) sedang membangun pipa gas dari Medan ke Lhok Seumawe. Sejauh 330 km. Hampir selesai. Di pihak lain saat ini sudah ada pipa gas dari Riau ke Sumsel dan ke Jawa. Tinggal Riau-Medan yang belum nyambung. Sejauh kira-kira 500 km.
Kalau pipas gas Riau-Medan bisa dibangun, infrastruktur gas kita sangat kuat. Iskandar Muda juga bisa dapat gas murah dari Selatan. Perbedaan harga gas di Sumsel dan Aceh sudah bisa mencukupi untuk membangun pipa gas tersebut.
Pipa tersebut juga akan terus nyambung ke Jawa Timur. Sekarang ini juga ada kesepakatan baru bahwa pipa Cirebon-Semarang segera dimulai. PT Rekayasa Industri, anak perusahaan PIHC yang lain, sudah setuju bekerjasama dengan PGN untuk segera memulai pembangunannya. Akhir bulan ini.
Kalau ini berhasil infrastruktur gas kita sudah sangat kuat. Apalagi sebentar lagi LNG Arun sudah berhasil diubah menjadi receiving LNG terminal. Stasiun penerima LNG terapung di utara Jakarta juga sudah beberapa bulan beroperasi. Stasiun yang sama di Lampung, yang dibangun PGN juga sudah hampir jadi.
Memang besarnya kapasitas pabrik pupuk kita belum otomatis menyelesaikan masalah di lapangan. Seperti sekarang ini: beberapa daerah melapor kekurangan pupuk. Bisa dipastikan yang kurang itu adalah pupuk bersubsidi. Rupanya ada masalah saat menentukan besarnya pupuk bersubsidi. Waktu itu pemerintah dan DPR menyepakati jumlah pupuk bersubsidi 7,8 juta ton. Ternyata ini tidak cukup. Kebutuhan pupuk bersubsidi mencapai 9,2 juta ton.
Jadi, pupuknya sendiri ada. Tersedia. Banyak. Barang itu juga sudah siap di gudang-gudang di setiap daerah. Masalahnya tidak boleh disalurkan. Sebelum angka tersebut diperbaharui. Kementerian Pertanian harus bertemu DPR dulu. Begitu keputusan itu dibuat, pupuk bisa langsung disalurkan.
Bagi PIHC, membeli pabrik milik Jepang barulah langkah awal. Masih begitu banyak rencana nyata ke depan.(*)
★ Antara