“Sejak kita larang ekspor ore, membuat harga ore melonjak. Contohnya nikel ore dari yang harganya US$ 30 per ton, kualitas yang sama di Filipina sekarang US$ 150 per ton,” ujar Vice Chariman Bantaeng Industrial Park Council Vince Gowan ditemui di Kantor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Jakarta, Rabu (11/6/2014).
Vince mengatakan, hal tersebut membuat industri-industri smelter di Tiongkok kekurangan pasokan. Melihat kondisi tersebut, para investor di Tiongkok memutuskan memindahkan industri smelternya ke Indonesia.
“Jadi sekarang ini mereka rombongan ke Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan membangun smelter,” ucapnya.
Vince menambahkan, di daerah industri Bantaeng, Sulawesi Selatan, saat ini sudah tercatat ada 8 pabrik smelter pengolahan nikel sedang dibangun.
“Delapan pabrik tersebut semuanya dari investor China, mereka membangun 1 smelter dengan dana US$ 300 juta, tahun depan akan selesai 4 smelter dan 4 lainnya selesai pada 2016,” katanya.
Ia menambahkan lagi, bila beroperasi dalam satu kawasan, diperkirakan total kapasitas produksi smelter Tiongkok ini mencapai 50 juta ton per tahun, dan diperkirakan akan menjadi smelter terbesar yang ada di Dunia.
“Namun yang jadi masalah saat ini, listriknya belum cukup, mereka (investor) maunya kalau bisa besok sudah jadi pembangkitnya dan smelternya karena mereka benar-benar butuh,” katanya lagi.
“Bahkan investor-investor tersebut menantang PLN mengenakan sistem take or pay, kalau smelternya telat bangun kita bayar ke PLN, kalau pembangkitnya PLN yang telat, PLN yang bayar denda ke pengusaha, jadi jelas ada kepastian,” tutupnya.(rrd/dnl)
★ detik