Kontroversi Helikopter Presiden

Helikopter EC 725 pesenan TNI AU

Judul di atas tak akan dipilih kalau saja sembilan unit helikopter AW101 buatan Agusta Westland yang sedang diakuisisi oleh TNI AU dipesan dalam konfigurasi standar semuanya. TNI AU memesan AW101 sejak pertengahan 2014 guna mengisi armada helikopter angkut berat yang selama hampir lima dekade kosong.

Ini bagian dari Rencana Strategis TNI 2015-2019 atau kerap dijuluki sebagai program pemenuhan minimum essential force (MEF) tahap kedua. Tiga helikopter berjuluk Merlin itu akan menggantikan AS332 Super Puma buatan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) yang dioperasikan Skuadron Udara VIP 45 TNI AU di Halim Perdanakusuma yang selama ini menjadi tunggangan presiden.

PTDI mempersoalkan keputusan TNI AU memilih produk dari pabrikan Italia-Inggris itu dibandingkan Helikopter EC725 Super Cougar yang merupakan varian Super Puma termutakhir. Adanya faktor VVIP dan presiden membuatnya menjadi kontroversi yang liar. Ketika petinggi TNI AU akhirnya balik menuding PTDI sebagai industri strategis dengan kinerja buruk, jelas ini bukan persoalan yang baru timbul kemarin sore.

Di media sosial marak beredar tulisan sindiran kepada TNI AU dengan menyebut militer Turki mengoperasikan pesawat CN235 ASW (antikapal selam) buatan PTDI-CASA yang justru belum dipakai Indonesia. Tak banyak yang ingat bahwa TNI AU baru menerima CN235 MPA (versi patroli maritim untuk memantau kapal permukaan) pada 2008 atau 12 tahun setelah kontrak pemesanan ditandatangani. Turki menerima CN235 ASW dari CASA Spanyol selaku mitra PTDI dalam pengembangan dan produksi bersama CN235 meskipun sistem pemburu kapal selamnya dipasang para insinyur Indonesia.

Helikopter EC725 yang ditawarkan PTDI sebagai lawan AW101 VVIP juga bermula dari tragedi keterlambatan pengiriman. TNI AU memesan 16 unit Super Puma ke PTDI kala masih bernama IPTN pada 1998. Sepuluh tahun kemudian, baru tujuh unit dikirimkan.

Dengan pertimbangan perkembangan teknologi, tiga unit helikopter yang masih dibangun di Bandung dinaikkan tarafnya ke versi SA532 Cougar atau Super Puma II. Kemudian, enam unit yang belum dibangun diubah ke varian tertinggi, yaitu EC725.

Tahun ini TNI AU seharusnya sudah mengoperasikan enam Super Cougar itu sebagai bagian dari program MEF tahap pertama (rencana strategis 2010-2014). Namun, PTDI baru akan melakukan pengiriman tahun depan. Badan EC 725 pesenan TNI AU datang di PT DI, yang kemudian dirakit [defence.pk]

Krisis keuangan hebat yang membuat PTDI harus melepas dua per tiga karyawan memang berdampak langsung pada kemampuan pemenuhan kebutuhan alat angkut udara bagi ketiga matra TNI. Ditambah lagi dengan berakhirnya lisensi pembuatan Helikopter NBO105 dan Bell 412 membuat TNI AD dan TNI AL sempat melirik Sokol dan Mi2 dari Polandia dan Rusia yang akhirnya bermasalah. Setelah menjalin kesepakatan baru dengan Bell Textron pada 2009, PTDI akhirnya kembali memasok helikopter Bell 412 versi terbaru untuk TNI AD dan TNI AL meskipun statusnya bukan lagi pemanufaktur. Komponen Bell 412 dikirim dari Amerika Serikat ke Bandung untuk perakitan akhir.

PTDI juga pernah memiliki lisensi untuk Puma dan Super Puma, dalam arti membangun helikopter dari pembuatan badan sampai memasang seluruh sistem secara utuh di Bandung. Beda kasus untuk Super Cougar. PTDI mendapatkan kontrak dari Airbus Helicopters (Eurocopter) untuk membuat 125 badan dan ekor (airframe dan tailboom) EC725 selama 10 tahun yang dikirimkan ke Prancis mulai 2013 guna memenuhi pesanan berbagai negara.

Jika ada pembeli dari Indonesia, PTDI mendapat jatah pekerjaan finalisasi. Enam EC725 dipesan TNI AU ke Airbus Helicopters pada April 2012. Helikopter pertama yang sudah hampir jadi, lengkap dengan mesin dan segala sistem utama terpasang, dikirim dari Prancis ke Indonesia pada November 2014. Setahun ini insinyur PTDI melakukan pemasangan perlengkapan misi, penyesuaian konfigurasi, dan uji terbang untuk dua unit EC725 yang sudah ada di Bandung.

Ketika TNI memulai program MEF sejak 2005 yang diwarnai belanja alat utama sistem persenjataan secara besar-besaran, pemerintah mensyaratkan prioritas buatan dalam negeri. Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, disebutkan program pengembangan industri pertahanan dan pembelian produk pertahanan dalam negeri minimal 20 persen dari anggaran. Semua rencana itu akan menjadi indah jika industri pertahanan memiliki kemampuan memadai.

Asisten Direktur Utama PTDI Irzal Rinaldi Zailani pada November 2012 pernah mengatakan, di divisi helikopter sanggup membuat enam Super Puma, empat Super Cougar, dan delapan Bell 412 setiap tahun. Untuk pesawat, kapasitasnya bisa 12 unit C212, enam CN235, dan enam C295 yang merupakan pengembangan CN235 oleh CASA (Airbus Military). Hasil kajian Kementerian Riset dan Teknologi yang dirilis 2010 menyebut kemampuan produksi tahunan PTDI hanya delapan pesawat dan enam helikopter.

Jalan apa saja akan ditempuh untuk memenuhi target nilai ‘produksi dalam negeri‘ meskipun industri pertahanan masih dalam tahap restrukturisasi. PTDI ingin mendatangkan komponen utuh Helikopter Panther buatan Airbus secara terurai untuk dirakit kembali guna memenuhi kebutuhan TNI AL akan helikopter pemburu kapal selam. TNI AD yang mencari pengganti NBO105 ditawari Helikopter Fennec buatan Airbus yang juga akan dirakit di Bandung.

Untuk menambah armada angkut medium, TNI AU telah memesan 14 unit C295. Sebagian besar pesanan C295 TNI AU masih akan dibangun di Spanyol meskipun PTDI tetap kebagian jatah membuat separuh airframe seperti kesepakatan kerja sama CN235.

Target 20 persen produksi dalam negeri sulit dicapai bila industri pertahanan sekadar menjadi pembuat komponen atau perakit. Namun, lisensi produksi yang akan mengembalikan status PTDI sebagai pemanufaktur dan pemasok utama hanya layak didapatkan kalau jumlah pesanan cukup banyak. TNI AU tentu bisa berdalih bahwa dalam rencana strategis 2015-2019 masih ada program pembelian 10 unit Super Cougar lagi untuk misi combat rescue. Namun, mereka masih butuh helikopter berdaya angkut lebih besar yang tak diproduksi PTDI agar mampu mendekati postur MEF tanpa khawatir bakal molor lagi.

Sekarang, semakin jelas ke mana kontroversi helikopter presiden ini sebaiknya dibawa. Masihkah kita terus berdebat mengenai lebih bagus mana helikopter VVIP buatan Italia-Inggris atau merek Prancis yang komponennya ikut dipasok Indonesia? Namun, mereka masih butuh helikopter berdaya angkut lebih besar yang tak diproduksi PTDI agar mampu mendekati postur MEF tanpa khawatir bakal molor lagi, misalnya, harus ambil nomor antrean di Airbus kalau kembali memesan Super Cougar.

Rahmad Budi Harto
Pemerhati teknologi militer alummnus Universitas Pertahanan

  Republika  
This entry was posted in Uncategorized by dhan. Bookmark the permalink.