Posisi Indonesia sebagai negara kepulauan terluas di dunia, yang memiliki 18.307 pulau, luas perairan 93.000 km2 serta garis pantai 54.716 km, mengharuskan negara maritim ini memiliki sistem pertahanan yang kokoh, baik menghadapi ancaman dari dalam maupun dari luar negeri.
Untuk itu, seperti dikemukakan Direktur Komersial PT LEN (Persero) Adi Sufiardi Yusuf, salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan kekuatan pertahanan maritim adalah sejauh mana kekuatan Kapal Republik Indonesia (KRI) sebagai salah satu armada TNI Angkatan Laut (AL), mampu melakukan sistem deteksi serta memberikan reaksi terhadap ancaman secara efektif dan efisien.
Di sinilah LEN pada tahun 2000 mulai merintis sistem manajemen combat yang dinamakan Combat Management System (CMS) Mandhala atau Sistem Manajemen Tempur Mandhala, yang mampu mendeteksi dan memberikan reaksi terhadap ancaman yang datang. Sistem ini memiliki kemampuan teknologi berdasarkan sensor dan persenjataan yang dimiliki oleh KRI.
Sedangkan efektivitas dan efisiensinya sangat ditentukan oleh sistem yang mengintegrasikan sensor dan senjata tersebut. Karena itu sebagai satu sistem, CMS harus mampu memenuhi berbagai kebutuhan operasional yang diperlukan dalam sistem pertempuran, seperti melakuan pengolahan data yang berasal dari berbagai sensor menjadi informasi yang dikaitkan dengan unsur navigasi, potensi ancaman, serta berbagai reaksi yang dapat dilakukan untuk melumpuhkan berbagai ancaman tersebut.
Pada tahap awal pengembangannya oleh LEN, TNI AL mensyaratkan agar konsep operasional CMS tersebut sejalan atau mengikuti konsep operasional CMS kelas Diponegoro yang dibuat oleh Belanda. Namun apabila ditinjau berdasarkan teknologinya, mulai dari penggunaan perangkat keras (hardware), sistem operasi (operating system), maupun bahasa pemrograman, maka terlihat CMS yang dikembangkan LEN sangat berbeda dengan CMS pada kelas Diponegoro tersebut.
Selain itu, alat yang pada awal pengembangannya dilakukan melalui kerjasama litbang, baik dengan TNI AL maupun dengan Kementerian Riset dan Teknologi ini juga mampu memberikan visual secara menyeluruh terhadap situasi taktis pertempuran. Alat ini juga digunakan untuk mengetahui, apakah mampu menyediakan sarana guna melakukan reaksi secara efektif dan efisien, melalui sistem persenjataan yang dimiliki.
Dengan demikian, sistem manajemen pertempuran ini sekaligus menyediakan sarana guna melakukan koordinasi dengan unit lain dalam satu gugus tempur, seperti melakukan pertukaran data sasaran dan juga perintah. sertifikasi Dislitbang AL pada tahun 2012, Dinas Litbang TNI AL telah mengeluarkan sertifikasi untuk produk CMS yang dihasilkan PT LEN (Persero). Namun pihak LEN mengakui saat ini belum menemukan standar kalkulasi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang tepat, karena ada perbedaan konfigurasi (baik software dan juga hardware) untuk setiap proyek, sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan biaya produksi antara satu proyek dengan proyek lainnya.
Namun secara garis besar, hampir semua sistem software dan hardware mekanik dikembangkan secara mandiri oleh PT LEN (Persero). Berdasarkan kepercayaan dari Kementerian Pertahanan dan TNI AL, tahun 2014 sudah dilaksanakan kontrak pengadaan CMS dalam negeri pada dua kapal perang jenis Kapal Cepat Rudal (KCR) milik TNI AL yaitu masing-masing pada KRI Rencong dan KRI Mandau, serta dua kapal jenis Kapal Cepat Torpedo (KCT) yakni KRI Ajak dan KRI Singa.
KRI Mandau ⚓️Rencananya tahun ini PT LEN berencana menggarap empat proyek CMS pesanan TNI AL, masing-masing dua proyek untuk Kapal Cepat Rudal, dan dua proyek untuk jenis Kapal Perusak. Karena itu, untuk menggarap satu proyek CMS beserta integrasinya pada sistem kapal, sangat bervariasi tergantung dari karakteristik proyeknya.
Misalnya apakah ditujukan untuk memodernisasi kapal yang sudah ada atau semacam meng-upgrade kapal, apakah ada penggantian sensor/senjata kapal, ataukah mempertahankan sensor ataupun senjata existing. Sementara untuk membuat bangunan kapal baru, yang diperlukan untuk sistem CMS, menyangkut perlu adanya mapping responsibility antara galangan kapal dan Combat System Integrator (CSI).
Di luar hal tersebut, masih banyak faktor-faktor lain yang menentukan waktu pengerjaan satu sistem CMS. Namun idealnya untuk kegiatan pengadaan, instalasi, dan integrasi combat system (sistem tempur, termasuk CMS, sistem sensor, dan senjata) setidaknya membutuhkan waktu pengerjaan antara dua sampai tiga tahun pada proyek pembuatan kapal baru.
Sistem manajemen tempur ini sebenarnya juga merupakan bagian dari perangkat pertahanan di bidang elektronika. Sebagai satu sistem, maka untuk pengerjaan satu proyek CMS, biasanya dihargai pada kisaran antara Rp 40-60 miliar, bergantung pada jenis keunikan kapal. Untuk penguasaan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), 75% sudah berasal dari dalam negeri khususnya pada bidang garapan unit bisnis elektronika pertahanan, termasuk juga sejumlah perangkat lunak dan berbagai partisi sudah dikuasai dari dalam negeri.
Namun demikian, untuk perlengkapan elektronika, hampir seluruhnya masih diimpor seperti komputer dan perlengkapannya, dan juga Input/Output Card, karena masih terbatasnya pasokan dari dalam negeri. [Kemenperin]
⚓️ JKGR